Saya amat paham, ia sedang berusaha mengubah mindsite saya tentang dia.
Saya sering menceritakan tentang sosok perempuan pendiam kepada kawan-kawan. 'Seorang perempuan cantik, pendiam. Itu hal biasa.' kata orang-orang. Tapi Pendiam yang satu ini saya anggap berbeda. Dan, bagi saya siapapun yang berkenalan, kenal atau pun mengenal saya tidak ada yang pendiam. Semuanya ahli bicara. Kami akan saling bercerita dan bertukar pikiran.
"Kau baru kali ini bercerita tentang perempuan pendiam, Suf." kata teman saya. Saya langsung membayangkan wajah gadis itu saat Tarno berkata. Ingatan saya masih pada pertemuan yang entah ke berapa saat itu. Yang jelas itu pertemuan terakhir dalam ingatan saya.
"Dia benar-benar pendiam. Sudah berkali-kali berpapasan. Tapi tak pernah sepatah kata pun kami bicara, Cup" Ucup saat itu menjadi teman curhat saya.
Kalau Farhan lain lagi Tanggapannya. "Kau itu bodoh sekali. Kenapa harus memikirkan hal demikian?" Saya amat tak suka. Kenapa harus mencap teman sendiri bodoh dan bukannya menjawab malah bertanya kembali. Satu hal yang melanggar prinsip hidup saya.
Hingga malam telah larut, saya masih sering menanyakan hal itu. Kepada ibu, kakaknya ibu, kemanakan yang sekali-kali bertandang ke rumah meminta bantuan menyelesaikan PR, bahkan kepada adik kecil yang masih berumur dua tahun. Satu per satu jawaban dilontarkan. beragam jawaban saya terima. Dari yang dapat diterima akal hingga jawaban tak waras. Eh maksudnya, saya yang dianggap sudah tak waras.
"Hei, Kamu ini setiap hari bertanya itu. Siapa benar dia?" Ibu, Perempuan itu juga melakukan hal yang melanggar. Aku membenci (sikap)nya. Memang, tiap bersalaman seminggu ini selain kabar ibu yang kutanya, akan selalu kuutarakan "Bu, Seorang perempuan cantik, pendiam. kenapa bisa?"
Jawaban ibu pertama kali, "Wajar saja. mungkin dia belum kenal kamu,"
"Tapi, aku sudah sering ketemu dia, Bu." bantahku.
"Ajak dia bercerita,"
"Tidak bisa"
"Kenapa?"
"Karena ini... karena itu... karena..."
Uh, Panjanglah debat dengan ibu malam itu. Sampai ibu bilang juga. "Kamu Bodoh. Kurang waras,"
Saya hampir benar-benar membenci ibu saya. Untung Tantri, adik manis merengek malam itu. Ibu mengabaikan saya dan lupa perkara kami. Ia langsung mengejar posisi tidur Dedek Manis.
Ibu boleh lupa perkara itu, Tapi saya masih mengingatnya.
Esok telah tiba, saya kembali bertemu dia. Perempuan itu. Dan masih dengan perlakuan yang sama. Ia tersenyum, menatap saya. Bila mata kami beradu ia akan geleng-geleng kepala dan saya garuk-garuk kepala dengan sendirinya. Ia (Masih) senyum terus meski sudah tak menatap saya.
Sesampai di cafe, bertemu lagi saya dengan teman-teman. Saya tanyakan lagi kepada mereka. Tentang semua itu. "Seorang Perempuan Cantik, Pendiam."
Sekali mereka serempak berucap, "Kau Gila, Suf." Saya marah? Tentu. Mereka bukannya menjawab, tapi malah men-cap saya GILA.
Tapi, tidak salah juga. Saya memang sedang gila karena hal itu. Gila memikirkan Tentang gadis pendiam nan cantik itu. Eh, Gadis cantik nan pendiam itu. Ah, entah mana yang harus saya dahulukan. Cantiknya atau Pendiamnyakah?
Komentar
Posting Komentar