(Siswa XII IPS MA KM Muhammadiyah Padangpanjang)
Asal mula cinta. Semua dari hati. Itu kata mereka. Aku sejenak bingung
pada kata-kata itu, entah siapa yang memulai, entah siapa yang pertama
merasakan semua itu.
Cinta, satu kata yang dari dulu aku pertanyakan pada hati ini.
Pernah dia bilang tidak dari dia awalnya cinta itu. semua bermula dari mata.
Katanya. Saat kutanyakan pada mata, dia malah bingung. Dan, aku pun ikut
bingung dibuatnya.
Ya! Memang begitulah cinta. Satu kata penuh makna yang membuatku
bingung. Satu kata baru dalam sejarah hidup yang terukir abadi di hati ini.
Memang, kali ini aku merasakan cinta yang belum pernah aku temukan sebelumnya.
Telah ku tanyakan pada guru matematika, mereka jawab cinta itu penggabungan dua
hati menjadi satu.
Jawaban itu belum memuaskan hatiku. Ku coba tanyakan pada guru
kimia. Dalam usianya yang lumayan berumur mungkin ia lebih mengerti. Jawabannya
“Cinta datang karena gabungan partikel-partikel yang membentuk satu partikel
yang lebih kuat. Kadang juga bisa lemah karena partikel itu tidak bekerja sama.
“Ahh. Sial!” jawaban para guru belum cukup puas membuatku mengerti
pada kata-kata cinta. Semua seperti menjawab ibarat angin saja. Untuk memaskan
aku bertanya bukan memberi jawaban yang sesungguhnya.
“Apa arti cinta?” Hati ini serasa begitu keras ingin tahu tentang
cinta. Cinta, cinta cinta. Itu yang ku dengar setiap saat dari mulut
teman-temanku.
“Bro! Ajari aku. Apa arti cinta. Aku ingin tahu cinta. Aku ingin
mengerti tentang cinta.” Ucapku pada seorang teman dekat yang aku rasa
mengenali cinta itu sebenarnya.
Tanpa sungkan dia menunjuk dadanya. Dengan tegap berdiri di
hadapanku.
“Cinta itu, bermula di mata. Ketika cinta itu benar-benar nyata.
Dia akan mendarat pada lautan hati yang akan menerimanya apa adanya.” Kata-kata
itu berkoar-koar di alam raya hatiku. Tepat mendarat pada satu pulau yang sudah
lama tak dihuni.
Ya, baru kali ini aku mengerti pada nasihat orang. Nasihat seorang
teman yang telah lama ku anggap teman.
Aku mengerti sekarang. Itu cukup bagiku. Aku sudah merasakan semua
itu sebelumnya. Hanya saja, aku terlambat untuk mengerti semua itu. marah pada
guru matematika dan kimia? Tidak! Untuk apa aku marah. Semua jawaban guru itu
ada benarnya. Sesuai dengan teologi pelajaran mereka.
Bimbi nama gadi itu. Entah kapan aku mulai mengenal nama itu. Entah
kapan pertemuan pertamaku dengannya. Bimbi, gadis itu lah yang memulai
mengenalkan aku pada satu kata Cinta. Satu hal yang aku ingat saat pertemuan
pertama ialah curhatannya. Satu hal yang aku ingat dari namanya ialah satu
lirik lagu lama yang tak terdengar lagi alunannya.
Suara itu, sorotan itu, semua menjadi satu dalam satu tempat yang
mungkin tidak bisa dikatakan romantis. Namun keadaanlah yang akan menjadi saksi
semua itu romantis. Belaian kata-kata manjanya selalu terurai setiap sore di
bawah beringin yang cukup rindang di halaman sekolah. Tak lupa nasihatku
mengiringi setiap cerita yang dia sampaikan. Lambat laun semua berubah pada
satu ikatan batin yang bisa dikatakan erat bagi kami berdua. Adik dan Kakak.
“Adik butuh kakak untuk arahan. Kakak butuh adik untuk membuat kakak berpikir.”
Itulah sumpah aku dan dia di bawah beringin itu.
Waktu terus berjalan pada kodratnya. Semua yang ada di bumi tak
kunjung berhenti beraktivitas. Deretan cerita tentang aku, dia, dan semuanya
terlukis pada satu lembaran yang entah siapa empunya. Deretan curhat, deretan
motivasi, dan deretan konflik tersusun rapi menuju titik klimaks.
“Tuhan, jika semua yang ada di dunia ini adalah titipanmu. Aku
merasa ada satu titipan yang salah engkau titipkan padaku. Sesuatu yang
sempurna yang mungkin tak sanggup aku jaga kesempurnaannya. Gadis itu, Bimbi.
Sosok manis itu sempurna di mataku. Sungguh elok perilakunya. Anggun sikapnya,
serta lembut kata-katanya.”
Entah jurus apa yang aku pakai. Tangan ini ikut memuji
mengungkapkan perangai gadis itu pada catatan harian yang biasanya kutulis
rentetan rintihan hidupku. Entah benar entah salah aku tak peduli. Semua
sepertinya terlalu jujur. Kadang jujur akan menyakitkan hati. Tapi semua harus
diungkapkan pada kejujuran.
Kubiarkan tulisan-tulisan itu mengalir pada kertas putih yang rela
ternodai tinta hitam ini. Kemudian, tulisan itu tak bermuara di situ saja.
Rasanya semua belum usai. Rasanya semua ini bukan sesuatu titipan yang salah.
Tidak ada yang salah. Segala titipan tuhan itu tidak akan salah. Inilah
keberuntunganku.
“Baru kali ini aku mendapat suatu titipan yang sempurna.Sorang yang
sempurna luar dan dalamnya. Tuhan. Berkali-kali aku bertanya tentang titipan
ini. Tidak pernah ada jawabannya melainkan bukti hadirnya. Semua terasa cukup
sebagai jawaban untukku. Tuhan, engkau takdirkan dia berada di sampingku.
Engkau takdirkan dia untuk tersenyum di hidupku.”
!!!
Seperti dendang biola yang dimainkan terpaan badai, semua terasa
berubah begitu cepat. Hati ini seperti kaum Luth yang di landa badai batu.
Begitu cepat hancur. Perubahan terjadi dalam sekejap mata. Bimbi yang dulu
tidak hadir sekarang. Aku tak mengerti skenario drama yang diberikan tuhan. Aku
merasa ini skenario yang salah. Tuhan, engkau berikan percikan api pada cerita
kami. Semua seperti alunan melodi yang dimainkan badai.
Senyumnya dulu tak lagi lepas menerpa hidupku. Mulutnya tak lagi
semanja dulu berbicara padaku. Walhasil, mulutku pun tak lagi menyiraminya
dengan nasihat-nasihat seperti dulu. Ada apa? Apakah titipan itu tak lagi
sempurna untukku?
Ribuan cerita yang dulu telah terangkum dalam memori dunia ini tak
lagi indah. Ya, biola yang dulu pernah kami mainkan tak lagi merdu seperti
dulu. “Mungkin dawainya perlu diganti.” Pernah ku berpikir seperti itu. tapi,
aku rasa tidak mungkin. Cerita rasanya baru sebentar. Tak mungkin secepat itu
dawainya perlu diganti.
Entah skenario siapa. Aku tidak mengerti jalan cerita hidup ini.
Aku merasa mengutuk semua cerita ini. Cerita indah dan titik cerita pada hari
ini. Apa salahku? Kenapa sikapnya sangat berbeda? Tak ada lagi senyum melainkan
wajah lesu. Tak kudapati lagi kemanjaannya dulu. Semua sikapnya bagaikan gunung
pasir yang diterjang oleh ombak di tepi lautaan. Sirna.
Detik berlalu kian cepat. Menghapus kisah lama merekam jejak baru
kehidupan. Aku tanyakan kembali masalah ini pada semua pihak. Guru sosiologi
lah yang paling aku mengerti perkataannya. “Semua masalah yang terjadi di dunia
ini adalah lukisan tuhan. Jangan kamu mengeluh. Yakinlah semua akan baik-baik
saja. Senyumannya akan kembali pada yang dulu lagi.
Mungkin, dia sudah mendewasakan dirinya agar tidak lagi meminta
dimanja bersamamu. Itulah sebab dia tidak lagi bercerita padamu.” Sepotong
kalimat itu cukup puas memberi arti bagiku terhadap masalah yang aku alami.
“Intropeksi diri aja kamu. Mungkin kamu ada melontarkan suatu kata
yang salah padanya. Wajar, manusia ini tidak ada yang sempurna. Kadang ada
kesalahan yang tak sengaja engkau perbuat.” Sedikit tambahan sejoli ku membuat
aku sadar akan makna hidup ini. Membuatku semakin tegar akan masalah yang
kuhadapi bersamanya.
Bimbi, gadis manis itu tak mungkin akan bersifat seperti ini jika
tidak dimulai dariku. Ku coba untuk jujur dan meminta maaf padanya.
“Bi, maafkan semua kesalahan bang, ya. Bang merasa ada salah sama
kamu.” Ucapku padanya.
“Tidak ada yang harus dimaafkan. Abang tidak salah padaku. Harusnya
aku yang minta maaf, bang.” Jawabnya penuh arti pada diriku. Maaf. Maaf lagi
yang harus ku artikan. Siapa yang harus dimaafkan dan siapa yang harus meminta
maaf? Kata-kata maaf itu terlintas hilir mudik di pikiranku. Jika dia yang
memenita maaf. Sedari dulu aku memaafkannya. Sedari dulu aku menganggap dia tak
pernah salah.
Bimbi, gadis itu telah membumbui diriku dengan senyuman abadinya,
dengan lembut dan gemulai ucapannya. Tak pernah aku bosan jika mendengarkan
semua ceritanya. Tapi sekarang entah apa yang terjadi, aku tak lagi mendengar
suaranya. Tak algi mencium wangi tubuhnya. Dia tak lagi di sampingku. Dia
seperti jauh. Jauh sekali. Tak bisa ku gapai.
!!!
Ku rasa cukup untuk semua itu. semua momen itu kan berakhir.
Benar-benar berakhir tanpa ada permintaan. Semua harus ku jalankan. Tak perlu kirim
surat seperti yang dulu aku lakukan. Percuma mengirimi surat. Dia tak akan
membalas. Percuma beri nasihat, nasihat itu hanya dia dengar. Tak akan masuk ke
hatinya.
Sore itu, tidak lagi di bawah beringin. Melainkan di depan kelas
yang ramai siswanya. Sore kala bel tua itu nyaring berdering. Di bawah sinar
matahari yang mendung, aku menarik tangannya. menunggu semua siswa pulang tanpa
ada bekas.
“Ada apa?” ucapnya lirih.
“Bimbi. Berterus teranglah sekarang. Apa maumu?”
“Tidak ada apa-apa.” Ucapnya santai.
“Lalu, apa maksud dengan semua sikapmu ini?” Bimbi terdiam
menunduk.
“Bi, abang sungguh tak mengerti dengan sikapmu ini. Ada apa? Apa
abang punya salah padamu? Jawab, Bi!”
“Bang, aku jelaskan ya. Aku sebenarnya tidak ada masalah sama
abang.”
“Lalu...?”
“Aku hanya ingin jaga jarak saja sama abang. Sudah banyak orang
yang mengira kita ini ada hubungan spesial. Aku takut bang, Di kira semua itu
benar. Aku takut dimarahi dan
dikeluarkan dari sekolah ini bang.”
Semua penjelasannya bertubi-tubi mengarah padaku. Aku merasa cukup
lega atas penjelasan itu.
Itulah yang aku suka darinya. Jika bicara, tak kan henti dia bicara
sebelum semua yang ingin dibicarakannya selesai. Bimbi sosok lembut pendiam itu
aku sukai. Cara bicaranya aku suka. Kembali aku merasa mendapat manjaan dari
dia. Kembali wajah oval itu ku lihat senyumannya.
“Tapi, Bi. Apakah harus dengan cara ini kamu memilih jalannya.
Tidak adakah jalan lain? Jujur, abang bosan dengan cara seperti ini, Bi.” Wajah
manis itu kembali menekurkan kepalanya. Aku tak bisa menegakkannya secara
langsung. Dia bukan muhrimku.
“Baiklah. Bi. Hanya satu pesan abang, Bi. Aku sedari dulu sudah
mencintaimu. Aku sedari dulu sangat sayang padamu. Makanya abang sangat bosan
saat sikapmu seperti ini.” Perkataan itu membangkitkan wajahnya kembali untuk
menatapku.
“Tapi, jika itu maumu. Biarlah. Semua perasaan ini bertepuk sebelah
tangan rupanya. Aku hanya bisa mengambil kebijakan. Aku mencintaimu, Bi. Tapi,
terpaksa aku harus pergi darimu. Aku harus mengubur cinta dan perasaan ini
dengan meninggalkanmu.
Aku takut rasa ini abadi. Abadi bertepuk sebelah tangan. Biarlah,
cinta ini ku kubur.
Aku mencintaimu, Bi. Aku harus pergi.”
“Vid, Vid. Jalan yuk. Aku mau ngantarin tugas nih. Mau kan ikut
sama ku.” Sebuah teriakan dari ujung jalan seperti memanggilku.
“Ia tunggu bentar. Lagi ada urusan” balasku juga berteriak.” Wajah
manis itu kembali menekur tanpa kata. Aku tinggalkan dia dalam keterpakuan itu
dengan satu pesan yang mungkin berarti entah tidak.
“Seeyounexttime in new
momen. I Love you, butsorry. I Must Go.” Ucapku kepadanya sembari berlari.
(P A
‘Aisyiah Padang Panjang, 5 November 2014)
Komentar
Posting Komentar