Karya Diva D Damma Hum
(Siswa MA KM Muhammadiyah Padangpanjang)
S
|
iang
berjalan dengan kabutnya. Siang itu tersenyum pada kehidupan. Matahari yang
terik pancarkan keringat yang bercucur pada badanku. Degup jantungku berdetak
saat mendengar kata-kata “Maju kalau tidak mati saja” Semboyan apa itu? apakah
tidak ada kata-kata lain. Ucapku. Rasanya itu benar-benar kata-kata penuh hati.
Ada banyak orang yang ikut dalam kelompok ini. Aku tidak menyangka
akan seperti ini. Ku lihat mereka sangat antusias sekali ingin memulai semua
ini. Pakaian loreng telah aku kenakan sebagai tanda aku mengikuti semua ini.
Juga mereka yang lain. Tak lupa beberapa perlengkapan senjata yang akan
ditodongkan ke arah lawan.
Misi utama ialah, bunuh, Aktifkan bom. Jika itu tak berhasil, nyawa
tantangannya. “Maju kalau tidak mati saja” sekali lagi kapten tim menyorakkan
kata-kata itu. jantungku berdegup kembali mendengarnya.
“Tak usah pikirkan keluarga kalian di rumah. Ini semua adalah misi
kita. jangan sampai orang luar menggagalkannya.” Tekanan kata-kata itu serasa
menusuk hatiku untuk terus mengingat keluarga dan sahabat-sahabatku.
***
“Door...” sebuah peluru melesat tepat di samping persembunyianku.
Rasa takut menyelimuti perasaan dan jiwaku. Ingin rasanya aku mengalah saja.
Tapi percuma, menyerah pun aku pasti akan di tembak. Ujung-ujungnya mati juga.
“Maju atau kau mati.”
Ya, aku harus maju menyerbu markas lawan. Aku harus bunuh mereka
semua. Ada banyak orang yang menantiku di luar sana. Jika di sini saja aku
sudah mati, malu besar keluargaku.
“Ada banyak lawan di depan. Hati-hati!” sebuah pesan datang pada
radio kontrolku. Aku harus berhati-hati. Kemudian, dengan kelihaianku ku
lemparkan sebuah bulatan kecil yang akan berpengaruh besar. Asap-asap mengepul
pada sudut ruangan di depanku. Tiba-tiba saja lawan itu berlari dan
meninggalkan tempat persembunyianku.
“Dor..Dor...Dor.” tembakan berulang-ulang aku arahkan ke pihak
lawan yang ada di hadapanku. Seorang pemuda seusia ku terbaring lemah tak
berdaya akibatnya. Darah berhamburan keluar. Satu peluru mengenai tembus di
dadanya. Aku tinggalkan pemuda yang tak bernyawa itu, ku rebut semua
perlengkapannya. Ada peluru, bom, serta obat-obatan.
“Hei, jangan kau ambil barang-barang pihak lawan. Itu bisa
berakibat curang.” Suara dari
belakang mengejutkan aku. Dia adalah Bram. Teman timku. “Ya, maaf. Aku tidak
tahu.” Jawabku gugup.
“Ya sudah, letakkan semua itu kembali. Sekarang kita berjalan
menuju markas mereka. Jangan sampai mereka tahu kalau kita ada di sini.”
Perintah dan saran temanku itu aku patuhi dan ikuti
Perjalanan panjang kami lewati begitu lama. Ada banyak rintangan di
antaranya ranjau-ranjau yang terpasang di tempat-tempat yang tersembunyi.
“Stop! Di sana terdapat jalan buntu. Kita harus berbalik meminta
bantuan teman untuk mencari jalan baru.” Seketika teman itu menghentikan
jalanku.
“Lapor, stasiun 505, di sini 272. Chek jalan.”
“505 disini. Jalan di depan anda terdapat tiga musuh.
Berhati-hatilah. Mereka akan masuk ke dalam.”
Jantungku berdegup kembali saat mendengar bahwa musuh ada di
dekatku. Mati aku. Aku pasti tak akan bisa berkelahi dengannya. Batinku.
Dengan langkah sigap, laki-laki itu berlari keluar dengan
menembakkan pistolnya. Sadis sekali, dua orang telah berhasil dibantainya
dengan cepat. Aku termenung akan pesan ibu dulu. “Kau jangan sekali-kali
membunuh orang. Itu dosa besar nak.” Itu pesan ibu padaku.
“Hei ayo cepat, gunakan senjatamu. Lawan masih banyak di depan.
Peluruku sudah hampir habis nih.” Ucapnya memanggilku. Aku ragu. Apakah harus
aku membunuh nyawa yang tidak berdosa itu? sementara aku saja bergelimang dosa.
Tak pantas rasanya. Keraguan menusuk-nusuk hatiku ini.
Tapi, jika tidak maju, maka mati. Kata-kata itu kembali menguatkan
hatiku. Jika saja aku tak bunuh dia, maka aku yang akan terbunuh. Dengan sigap
aku angkat senjataku dan aku tembakkan pada musuh-musuh yang berjaga di depan.
“Dor..dor...dor...” tembakan demi tembakan aku arahkan kepada
mereka. Begitu juga mereka. Mereka menambaki ku dengan senjatayang begitu mewah
dari ku. Tapi,untung saja aku sudah diajari kapten teknik menghindari serangan.
Semakin mengelak, aku semakin dekat dengan mereka. Tak ada cara lain selain
menggunakan pisau, aku harus bisa menikam musuh itu. Selain itu, suku cadang
peluruku hanya tersisa beberapa butir. Aku harus bisa berhemat untuk menerobos
markas lawan.
Aku terus berjalan
menghadang mereka. Sampai akhirnya aku berhasil menusuk bagian perutnya. “Tsrt”
sobekan pada perutnya menyemburkan darah segar. Ngeri aku melihatnya. Nyawa
orang itu tak tertolongkan lagi. Dia pasti sudah mati. Pikirku. Aku tersenyum
melihat kejadian itu.
“Hei. Ingat, mereka masih banyak di depan. Jangan puas dengan satu
nyawa saja.” Teriak temanku dari belakang. Langsung aku mendekat pada dia untuk
memberi pertolongan. Tampaknya dia kesusahan sekali.
“Ini, kau pakai senjataku. Nyawaku tampaknya sebentar lagi. Tolong
jangan kau gagalkan misi kita ini. Hanya engkau satu-satunya malaikat kita. Aku
serahkan senjata dan target utama ini kepadamu. Tolong serbu markas mereka.”
“Dor...dor..dorr..” tembakan
bertubi-tubi datang dari arah belakangku. aku cepat-cepat mengelak dengan
agresif. Tapi naas, temanku tak terselamatkan lagi, sebuah tembakan yang
mengenai dadanya menyebabkan pertemuan terakhir antara aku dan dia.
“Steve, aku adalah kapten Jack. Aku melihat keagresifan mu dalam
perang ini. Kau harus bisa menjadi kapten nantinya. Ingat itu anak muda. Kau
harus gantikan posisiku.” Oh, ternyata yang di sisiku selama ini adalah seorang
kapten. Jelas sekali, semua anggota tim turut kepadanya. Aku tak sangkakan itu.
aku terus berpikir untuk menerobos lawan yang ada di depan. Tembakan-tembakan
terus saja berluncuran. Aku tak mungkin bisa lari dari sini. Pikiranku kacau,
kembali ku teringat “Maju, atau mati.” Kalimat kapten yang panjang itu tak aku
hafal melainkan kata-kata “Maju atau mati”nya
Dengan cara lain. Aku harus lemparkan bom satu-satunya yang aku
miliki. Tepat sasaran aku lemparkan di bawah tempat mereka berdiri. Akibatnya,
ledakan itu menjadi besar dan memperluas radiusnya. Tiga orang musuh mati mengenaskan
akibatnya. Aku tak perlu boros peluru lagi untuk membunuh mereka.
“Maju atau kau Mati.” Lagi-lagi ucapan kapten itu singgah di
kepalaku. Aku melanjutkan perjalanan menuju sebuah ruangan penuh kotak-kotak
kayu, di sebelah ujung aku temukan tempat yang tampak di spesialkan. Aku dekati
tempat itu sembari membuka peta yang aku rogoh dari saku.
“Dapat” Ucapku girang. Tempat aku berdiri sekarang ialah markas
besar tim lawan. Di sinilah misi terakhirku ku jalankan. Aku berjanji tidak
akan membunuh lagi setelah misi ini selesai. Itu janjiku. Tapi “ukhhh”
“Dor...” sebuah temakan melesat di dadaku. Ternyata masih ada lawan
di belakang. Aku tidak sadari itu. tidak ada cara lain lagi. Serangannya telah
menusuk dadaku. Nyawaku tak bisa tahankan lagi. Misiku gagal. Jalan yang hampir
saja selesai aku rajut rupanya di stop oleh musuh yang tak aku kira datangnya.
Tapi lihat kawan, ada apa. Laki-laki itu bingung tak tahu apa yang
dilakukannya. Dia berjalan ke sana kemari tak tentu arah. Sebuah sirine
“Nit..nit..nit..” yang semakin lama semakin kencang bunyinya.
Ahh. Untung. Ternyata misi itu telah aku selesaikan. Dia datang
kala bom telah selesai aku rakit. Pasti dia susah untuk menjinakkan bom itu.
“Duaar” serangan di markas itu meledakkan semua yang ada di dalamnya.
Aku memanglah mati. Mati dalam satu misi yang selesai aku kerjakan. Tak apa aku
mati, asalkan semua misiku telah selesai.
“Sudah main tuh. Aku bosan. Kalah terus. Kan aku sudah bialgin.
Aku nggak pandai main Point Blank.
Aku bisanya Lost Saga.” Ucap seorang anak mengeluh di sebuah warung internet.
“Tak apa Yon. Tadi aku kan menang. Berarti kau hebat tuh.”
“Ia. Itu kan kebetulan. Sudah lah. Aku main lost saga saja.”
PA ‘Aisyiyah,
penghujung 30 ke 31 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar