Langsung ke konten utama

Permainan Remaja


Oleh Diva D DammaHum
(Siswa MA KM Muhammadiyah Padangpanjang)
Untuk satu kisah hari itu, aku ucapkan terima kasih. Untuk ribuan kisah sebelumnya, aku ucapkan selamat tinggal. Kisah yang tersadur tanpa ku ketahui pemilik skenarionya. Naskah yang tak pernah ku temui yang langsung aku terlibat menjadi aktornya bersama mereka yang lain.
Sore, di daerah perkotaan. Aku biasanya menghabiskan hari-hariku. Bukittinggi, di bawah Jam Gadangnya aku berkeliaran dengan kostum gila. Badut tepatnya. Merayu pengunjung adalah tugasku. Satu rayuan satu suap makan. Itu targetnya. Ku mulai bercerita tentang kisah pahit yang ku alami di sana. Sebab, kisah manis yang ku rangkai tak kan manis jika di ceritakan. Karena hanya aku yang punya cerita itu.
“Engkau boleh bangga dengan hartamu, Brav. Tapi ingat! Kaya itu milik orangtuamu. Apa yang kamu banggakan dengan kepunyaan orangtuamu. Lihat kami, kami biarpun pas-pasan, kami tak sombong kayak kau. Kami punya harta milik sendiri. Kerja pun sendiri.” Ucap seorang temanku dengan emosinya pada seorang laki-laki seusiaku yang sempat meremehkan kami.
“Eiih. Aku bukan sombong ya. Tapi aku jijik sama temanmu itu. Dave. Kamu jangan sok-sokan jadi orang deh. Harta aja nggak punya udah mau jadi pacar orang kaya. Ngaca dulu dong.”
Shit. Emosiku ikut meluap saat namaku disebutnya. Ditambah lagi dengan cacian yang dia berikan untukku. ‘ jijik. Tak berharta, di suruh ngaca’ emang dia pikir dia siapa. Tanganku langsung melayang pada kerah baju laki-laki tersebut.
“Kau kalau bicara itu hati-hati ya. Jangan remehkan aku. Aku lebih besar darimu. Harusnya kau hargai aku. Selain itu, jangan sekali-kali kau banggakan harta orangtua kau itu kepadaku. Ingat itu.” sergahku dengan emosi yang meluap. Laki-laki itu seperti bunga layu ku buat. Mungkin telah takut dengan sergahan kata-kataku.
“Tenang dulu bos. Jangan emosiangitu dong. Kita main secara damai saja. Aku tahu engkau suka pada Derfina, wajar itu, dia gadis yang cantik dan dambaan di sekolah. Tapi, rasa cintamu itu tak harus dibalasnya. Sebab, akulah yang layak untuknya.” Ucapnya sembari melepaskan tanganku yang memegang kerahnya.
“Anak edan. Beraninya kau merendahkan derajatku. Hanjing”  Lalu, “Puukk...” tangan halusku selama ini menggenggam dan mengenai tepat pipi anak itu. emosi ku tak dapat ditahankan lagi. Pertengkaran yang menyebabkan pertumpahan darah itu berlangsung lama. Hampir mendekati waktu ashar, laki-laki itu tampak tegopong-gopong. Tubuhnya sudah melemas. Pun aku, tampak telah menguras tenaga banyak untuk menghabisi laki-laki itu.
Lama ku bercengkerama dengan teman-temanku. Ku katakan “Anak ini memang harus di beri pelajaran. Sering kali dia mencaci anggota-anggota kita. Tidak hanya kita, sampai pekerjaan kita pun di cacinya.” Ucapku. Semua temanku mengangguk dan mengiakan kata-kataku.
“Betul Dave, aku setuju kali kata-katamu. Jika boleh, aku ingin sekali membalaskan dendamku atas ucapan yang sering ia lontarkan untukku.” Seorang temanku tampak mengepalkan tangannya untuk meninju wajah laki-laki yang terkulai lemas itu.
“Mati kau ya....”
“Stop! Jangan bertindak begitu Yon. Kalau kau mau, tunggu dia sadar dan sehat dulu. Lawan dia seperti aku tadi. Jika tidak, kamu hanya terlihat seperti pecundang.” Ucapku pada Dion sembari menghentikan tinjunya.
“Habis, aku sudah muak dengan tingkahnya itu Dave. Ingin rasanya aku bunuh saja dia.” Balasnya. “Bunuh? Bunuh katamu, engkau mau berurusan dengan polisi, ha? Kamu tahu nggak. Dia ini anak pejabat. Jadi mudah saja bagi keluarganya untuk menjebloskan kita ke dalam penjara. Kau jangan berpikiran singkat begitu kawan.” Ucapku.
Detik terus berjalan, tiba-tiba. “Wiu...wiu...wiuu...” terdengar bunyi sirine dari jauh dan semakin mendekati tempat kami. Ku angkat laki-laki yang terkulai itu untuk berdiri. Ku hadangkan sebatang pisau ke lehernya. Ada sebuah mobil polisi dan ambulans berhenti tepat di hadapan kami.
“Jangan bergerak.” Hardik seorang polisi menodongkan pistol padaku.
“Tembak saja saya, kalau ingin anak ini mati.” Bentakku. Polisi itu pun takut dan menurunkan senjatanya. Kisah di TKP itu berakhir dengan kemenangan sekaligus kecaman untukku. Kini, laki-laki yang sebagai lawanku itu terbaring di rumah sakit, nyawanya antara hidup dan mati. Koma. Kritis.
Aku sempat cemas jika dia mati nantinya. Sebab aku nanti yang akan mendapat siksa dari tuhan. Pun aku dapat bebas dari jeruji besi sekarang, tapi akhirat tetap menanti. Brav, laki-laki itu aku cemaskan. Sering ku silau ia ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Sempat aku di tertawakan Dion CS karena kecemasanku pada laki-laki itu.
“Aduh, kasihan sekali kucing. Dia menangis dan menyesal telah membunuh tikus sergapannya.” Sindir Dion padaku.
“Kalau nantinya akan menyesal, tidak usah cari mangsa tikus. Cari saja di tong sampah.” Sambung Alex. Semua tertawa dengan celotehan dan sindiran itu. hanya aku yang tidak, sebab dari tadi aku terus merasa cemas.
+++

Seminggu sesudah kejadian di bengkolan indah itu, seminggu juga berlalu dari kecemasan dan gundahku, datanglah sebuah kebahagiaan besar untukku. Laki-laki yang dulu menjadi musuhku yang sempat aku buat kritis itu telah sembuh. Aku tersenyum dan bersyukur karena tuhan tidak jadi memberatkan hukuman untukku. Terkejutnya aku saat laki-laki itu mulai ramah padaku. Tak ada lagi ejekan, tidak ada lagi panggilan kau untukku, tapi abang.
“Bang, maafin aku yang kemarin itu ya. Aku janji nggak bakal menghina lagi. Aku khilaf bang.” Ucapnya menyalami diriku yang sedang berkostum badut. Aku tersenyum dan memeluk tubuhnya erat.
“Ya sudah, abang maafkan kok. Tapi, abang juga minta maaf ya. Hampir saja kamu mati di tangan abang.” Jawabku. Siang di pelataran jam gadang itu menjadi awal persahabatan aku dan musuhku. Juga menjadi awal dari hubungan yang sempat berakhir antara aku dan Derfina. Gadis manis ciptaan tuhan yang di anugerahkan bertemu denganku.
Derfina tersenyum dan memeluk tubuhku erat. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan itu. Siang, Aku, Brav, Derfina. .(***)
PA ‘Aisyiyah, 29 Januari 2015


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seorang Perempuan Cantik, Pendiam...

Setelah itu, saya dibuat gila oleh kelakuannya. Ia selalu tersenyum bila mata kami beradu. Saya sudah pastilah akan garuk-garuk kepala, menunduk, dan senyum juga. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum terus. Saya amat paham, ia sedang berusaha mengubah mindsite saya tentang dia. Saya sering menceritakan tentang sosok perempuan pendiam kepada kawan-kawan. 'Seorang perempuan cantik, pendiam. Itu hal biasa.' kata orang-orang. Tapi Pendiam yang satu ini saya anggap berbeda. Dan, bagi saya siapapun yang berkenalan, kenal atau pun mengenal saya tidak ada yang pendiam. Semuanya ahli bicara. Kami akan saling bercerita dan bertukar pikiran. "Kau baru kali ini bercerita tentang perempuan pendiam, Suf." kata teman saya. Saya langsung membayangkan wajah gadis itu saat Tarno berkata. Ingatan saya masih pada pertemuan yang entah ke berapa saat itu. Yang jelas itu pertemuan terakhir dalam ingatan saya. "Dia benar-benar pendiam. Sudah berkali-kali berpapasan.

Noda pada Muka dan Sepatu

Ibarat Muka dan Sepasang sepatu. Jika keduanya kotor, Maka yang manakah lebih dahulu dan paling sering kita cuci/ bersihkan. Fakta mengatakan, kita akan lebih sering mencuci muka daripada sepatu. Bahkan, tidak kotor pun kita akan selalu membersihkan muka baik dengan air atau sekadar me lapnya dengan kain. Sementara sepatu yang sering kita pakai hanya dicuci sekali seminggu paling sering. Atau ketika baunya sudah mulai apek. Begitu jugalah pengibaratan orang beriman dan tidak beriman (kafir). Orang beriman/mengaku beriman adalah muka tadi itu. Mereka jika sadar berbuat salah atau dosa akan cepat-cepat kembali kepada Allah. mengucapkan Istighfar dan bertaubat. Selalu, setiap kekhilafan yang ia perbuat akan terlontar kalimat memohon ampun kepada Allah. Sementara mereka yang tidak beriman, Tak ada ingatannya kepada Allah saat perbuatan dosa yang mereka lakukan. Terus, terus, dan terus apa yang disenangi mereka lakukan. Tidak pandang baik atau buruk. Tidak sadar Allah

BEKERJA DARI RUMAH?

Dunia sedang berduka. Sebuah virus berukuran amatlah kecil ukurannya sedang merajalela, berwisata ke seluruh penjuru. Indonesia pun menjadi tempat singgahnya. Seperti hal nya kereta api, siapapun yang hendak lewat pada lintasannya mesti berhen hingga gerbong demi gerbong tuntas berjalan dan plang penghambat diangkat naik, baru kita boleh berjalan. Berbeda dengan virus ini. Ia tak memiliki jalur yang jelas. Beberapa penelitian mengatakan lewat hewan, ada juga yang mengatakan ia adalah senjata biologi yang lepas. Hingga muncul gerakan dan instruksi mulai dari Program Hidup Bersih dan Sehat  (PHBS), mengurangi aktivitas di luar ruang, dan hal-hal lainnya. Beberapa waktu lalu muncul pesan/ instruksi dari Presiden Jokowi yang mana mengajak warga Indonesia untuk " Bekerja dari rumah. Belajar dari rumah. " Sebagai warga tentulah kita harus taat pada instruksi yang diberikan. Jika mendengar kata 'dari' tentulah kalimat tersebut punya alamat 'ke'.  Tapi mas