(Siswa MA KM Muhammadiyah Padangpanjang)
Untuk satu kisah hari itu, aku ucapkan terima kasih. Untuk ribuan
kisah sebelumnya, aku ucapkan selamat tinggal. Kisah yang tersadur tanpa ku
ketahui pemilik skenarionya. Naskah yang tak pernah ku temui yang langsung aku
terlibat menjadi aktornya bersama mereka yang lain.
Sore, di daerah perkotaan. Aku biasanya menghabiskan hari-hariku.
Bukittinggi, di bawah Jam Gadangnya aku berkeliaran dengan kostum gila. Badut
tepatnya. Merayu pengunjung adalah tugasku. Satu rayuan satu suap makan. Itu
targetnya. Ku mulai bercerita tentang kisah pahit yang ku alami di sana. Sebab,
kisah manis yang ku rangkai tak kan manis jika di ceritakan. Karena hanya aku
yang punya cerita itu.
“Engkau boleh bangga dengan hartamu, Brav. Tapi ingat! Kaya itu
milik orangtuamu. Apa yang kamu banggakan dengan kepunyaan orangtuamu. Lihat
kami, kami biarpun pas-pasan, kami tak sombong kayak kau. Kami punya harta
milik sendiri. Kerja pun sendiri.” Ucap seorang temanku dengan emosinya pada
seorang laki-laki seusiaku yang sempat meremehkan kami.
“Eiih. Aku bukan sombong ya. Tapi aku jijik sama temanmu itu. Dave.
Kamu jangan sok-sokan jadi orang deh. Harta aja nggak punya udah mau jadi pacar
orang kaya. Ngaca dulu dong.”
Shit. Emosiku ikut
meluap saat namaku disebutnya. Ditambah lagi dengan cacian yang dia berikan
untukku. ‘ jijik. Tak berharta, di suruh ngaca’ emang dia pikir dia siapa.
Tanganku langsung melayang pada kerah baju laki-laki tersebut.
“Kau kalau bicara itu hati-hati ya. Jangan remehkan aku. Aku lebih
besar darimu. Harusnya kau hargai aku. Selain itu, jangan sekali-kali kau
banggakan harta orangtua kau itu kepadaku. Ingat itu.” sergahku dengan emosi
yang meluap. Laki-laki itu seperti bunga layu ku buat. Mungkin telah takut
dengan sergahan kata-kataku.
“Tenang dulu bos. Jangan emosiangitu dong. Kita main secara damai
saja. Aku tahu engkau suka pada Derfina, wajar itu, dia gadis yang cantik dan
dambaan di sekolah. Tapi, rasa cintamu itu tak harus dibalasnya. Sebab, akulah
yang layak untuknya.” Ucapnya sembari melepaskan tanganku yang memegang
kerahnya.
“Anak edan. Beraninya kau merendahkan derajatku. Hanjing” Lalu, “Puukk...” tangan halusku selama ini
menggenggam dan mengenai tepat pipi anak itu. emosi ku tak dapat ditahankan
lagi. Pertengkaran yang menyebabkan pertumpahan darah itu berlangsung lama.
Hampir mendekati waktu ashar, laki-laki itu tampak tegopong-gopong. Tubuhnya
sudah melemas. Pun aku, tampak telah menguras tenaga banyak untuk menghabisi laki-laki
itu.
Lama ku bercengkerama dengan teman-temanku. Ku katakan “Anak ini
memang harus di beri pelajaran. Sering kali dia mencaci anggota-anggota kita.
Tidak hanya kita, sampai pekerjaan kita pun di cacinya.” Ucapku. Semua temanku
mengangguk dan mengiakan kata-kataku.
“Betul Dave, aku setuju kali kata-katamu. Jika boleh, aku ingin
sekali membalaskan dendamku atas ucapan yang sering ia lontarkan untukku.”
Seorang temanku tampak mengepalkan tangannya untuk meninju wajah laki-laki yang
terkulai lemas itu.
“Mati kau ya....”
“Stop! Jangan bertindak begitu Yon. Kalau kau mau, tunggu dia sadar
dan sehat dulu. Lawan dia seperti aku tadi. Jika tidak, kamu hanya terlihat
seperti pecundang.” Ucapku pada Dion sembari menghentikan tinjunya.
“Habis, aku sudah muak dengan tingkahnya itu Dave. Ingin rasanya
aku bunuh saja dia.” Balasnya. “Bunuh? Bunuh katamu, engkau mau berurusan
dengan polisi, ha? Kamu tahu nggak. Dia ini anak pejabat. Jadi mudah saja bagi
keluarganya untuk menjebloskan kita ke dalam penjara. Kau jangan berpikiran
singkat begitu kawan.” Ucapku.
Detik terus berjalan, tiba-tiba. “Wiu...wiu...wiuu...” terdengar
bunyi sirine dari jauh dan semakin mendekati tempat kami. Ku angkat laki-laki
yang terkulai itu untuk berdiri. Ku hadangkan sebatang pisau ke lehernya. Ada
sebuah mobil polisi dan ambulans berhenti tepat di hadapan kami.
“Jangan bergerak.” Hardik seorang polisi menodongkan pistol padaku.
“Tembak saja saya, kalau ingin anak ini mati.” Bentakku. Polisi itu
pun takut dan menurunkan senjatanya. Kisah di TKP itu berakhir dengan
kemenangan sekaligus kecaman untukku. Kini, laki-laki yang sebagai lawanku itu
terbaring di rumah sakit, nyawanya antara hidup dan mati. Koma. Kritis.
Aku sempat cemas jika dia mati nantinya. Sebab aku nanti yang akan
mendapat siksa dari tuhan. Pun aku dapat bebas dari jeruji besi sekarang, tapi
akhirat tetap menanti. Brav, laki-laki itu aku cemaskan. Sering ku silau ia ke
rumah sakit untuk melihat keadaannya. Sempat aku di tertawakan Dion CS karena
kecemasanku pada laki-laki itu.
“Aduh, kasihan sekali kucing. Dia menangis dan menyesal telah
membunuh tikus sergapannya.” Sindir Dion padaku.
“Kalau nantinya akan menyesal, tidak usah cari mangsa tikus. Cari
saja di tong sampah.” Sambung Alex. Semua tertawa dengan celotehan dan sindiran
itu. hanya aku yang tidak, sebab dari tadi aku terus merasa cemas.
+++
Seminggu sesudah kejadian di bengkolan indah itu, seminggu juga
berlalu dari kecemasan dan gundahku, datanglah sebuah kebahagiaan besar
untukku. Laki-laki yang dulu menjadi musuhku yang sempat aku buat kritis itu
telah sembuh. Aku tersenyum dan bersyukur karena tuhan tidak jadi memberatkan hukuman
untukku. Terkejutnya aku saat laki-laki itu mulai ramah padaku. Tak ada lagi
ejekan, tidak ada lagi panggilan kau untukku, tapi abang.
“Bang, maafin aku yang kemarin itu ya. Aku janji nggak bakal
menghina lagi. Aku khilaf bang.” Ucapnya menyalami diriku yang sedang berkostum
badut. Aku tersenyum dan memeluk tubuhnya erat.
“Ya sudah, abang maafkan kok. Tapi, abang juga minta maaf ya.
Hampir saja kamu mati di tangan abang.” Jawabku. Siang di pelataran jam gadang
itu menjadi awal persahabatan aku dan musuhku. Juga menjadi awal dari hubungan
yang sempat berakhir antara aku dan Derfina. Gadis manis ciptaan tuhan yang di
anugerahkan bertemu denganku.
Derfina tersenyum dan memeluk tubuhku erat. Rasanya tak ingin
melepaskan pelukan itu. Siang, Aku, Brav, Derfina. .(***)
PA ‘Aisyiyah, 29 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar