Langsung ke konten utama

Bayang dan Randai


Bayang bersikeras melarang ‘Teman’ Laki-lakinya, Randai, agar tidak jadi melanjutkan pendidikan ke ibu kota. Dalihnya adalah takut mengecewakan ibunda. Takut Si sulung nanti akan merepotkan Ibunda.
langit minang @bayang Randai

“Di Ibu kota biaya mahal. sementara di kampung saja susah. Nanti Ibunda akan cemas,”jelasnya.

Ditambah lagi kecemasannya dengan penyimpangan tujuan. “Banyak sekali orang yang mula tujuannya henda belajar, eh sampai di sana malah jadi tukang pikul, gelandangan, dan lebih cemasnya lagi… Kau nanti jadi pengedar narkoba. Ah, sulut kubayangkan itu, Randai. Janganlah pergi,”
“Lihatlah, tubuhmu kecil, Randai. Kalau jadi tukang pikul, nanti kamu cido,” ucap Bayang lagi.
“Aku mau kuliah, bukan jadi tukang angkat barang,” bantah lelaki itu.
“Atau, kau akan menjadi Malin Kundang Next generation? merantau jauh-jauh, lalu sukses bak kacang lupa dengan kulit? Kau tidak pikirkan nasib ibunda dan adik-adikmu?”
“Justru karena itulah aku hendak melanjutkan pendidikanku ke ibu kota. karena memikirkan nasib ibu, adik-adik, serta kampung halamanku.
Aku tidak akan cemaskan mereka. Aku akan bersungguh-sungguh untuk membahagiakan, Ibuku, juga adik-adikku. Orang-orang dikampung sekarang boleh mencemeehku. Semoga saja nanti, aku akan buat mereka bahagia. Termasuk juga dikau, Bayang Rindu,” ucapnya menggelegar diakhiri senyuman.
“Termasuk juga kau, Bayang Rindu…” kalimat itu melayang-layang di benak Bayang. Seolah ada sebuah janji yang dberikan lelaki itu untuknya.

Secara lahir, ia merelakan sahabatnya itu untuk melanjutkan niat berlayar ke ibu kota. Sebab, Ibunda Lelaki itu juga sudah merelakannya. Kabar itu ia dengar langsung dari mulut sang ibunda. Namun batinnya masih tidak merelakan kepergian Randai.
“Bayang, Randai itu laki-laki. Tidak masalah jika dia merantau. Sudah menjadi tradisi, bukan. Di negeri kita ini lelaki yang sudah menginjak remaja untuk berpisah dari keluarga.”
“Jadi, Bundo mengizinkannya?” tanya Bayang seolah masih tidak percaya. Yang dipanggil Bunda tersenyum menangguk. “Doakan saja, semoga di perantauan Randai selamat dan sukses selalu, nyampang panjang umurku, dapat jualah aku melihat kesuksesannya dalam pendidikan, bisnis, juga berkeluarga,” Ucap Bunda menerawang jauh.
….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seorang Perempuan Cantik, Pendiam...

Setelah itu, saya dibuat gila oleh kelakuannya. Ia selalu tersenyum bila mata kami beradu. Saya sudah pastilah akan garuk-garuk kepala, menunduk, dan senyum juga. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum terus. Saya amat paham, ia sedang berusaha mengubah mindsite saya tentang dia. Saya sering menceritakan tentang sosok perempuan pendiam kepada kawan-kawan. 'Seorang perempuan cantik, pendiam. Itu hal biasa.' kata orang-orang. Tapi Pendiam yang satu ini saya anggap berbeda. Dan, bagi saya siapapun yang berkenalan, kenal atau pun mengenal saya tidak ada yang pendiam. Semuanya ahli bicara. Kami akan saling bercerita dan bertukar pikiran. "Kau baru kali ini bercerita tentang perempuan pendiam, Suf." kata teman saya. Saya langsung membayangkan wajah gadis itu saat Tarno berkata. Ingatan saya masih pada pertemuan yang entah ke berapa saat itu. Yang jelas itu pertemuan terakhir dalam ingatan saya. "Dia benar-benar pendiam. Sudah berkali-kali berpapasan.

Noda pada Muka dan Sepatu

Ibarat Muka dan Sepasang sepatu. Jika keduanya kotor, Maka yang manakah lebih dahulu dan paling sering kita cuci/ bersihkan. Fakta mengatakan, kita akan lebih sering mencuci muka daripada sepatu. Bahkan, tidak kotor pun kita akan selalu membersihkan muka baik dengan air atau sekadar me lapnya dengan kain. Sementara sepatu yang sering kita pakai hanya dicuci sekali seminggu paling sering. Atau ketika baunya sudah mulai apek. Begitu jugalah pengibaratan orang beriman dan tidak beriman (kafir). Orang beriman/mengaku beriman adalah muka tadi itu. Mereka jika sadar berbuat salah atau dosa akan cepat-cepat kembali kepada Allah. mengucapkan Istighfar dan bertaubat. Selalu, setiap kekhilafan yang ia perbuat akan terlontar kalimat memohon ampun kepada Allah. Sementara mereka yang tidak beriman, Tak ada ingatannya kepada Allah saat perbuatan dosa yang mereka lakukan. Terus, terus, dan terus apa yang disenangi mereka lakukan. Tidak pandang baik atau buruk. Tidak sadar Allah

BEKERJA DARI RUMAH?

Dunia sedang berduka. Sebuah virus berukuran amatlah kecil ukurannya sedang merajalela, berwisata ke seluruh penjuru. Indonesia pun menjadi tempat singgahnya. Seperti hal nya kereta api, siapapun yang hendak lewat pada lintasannya mesti berhen hingga gerbong demi gerbong tuntas berjalan dan plang penghambat diangkat naik, baru kita boleh berjalan. Berbeda dengan virus ini. Ia tak memiliki jalur yang jelas. Beberapa penelitian mengatakan lewat hewan, ada juga yang mengatakan ia adalah senjata biologi yang lepas. Hingga muncul gerakan dan instruksi mulai dari Program Hidup Bersih dan Sehat  (PHBS), mengurangi aktivitas di luar ruang, dan hal-hal lainnya. Beberapa waktu lalu muncul pesan/ instruksi dari Presiden Jokowi yang mana mengajak warga Indonesia untuk " Bekerja dari rumah. Belajar dari rumah. " Sebagai warga tentulah kita harus taat pada instruksi yang diberikan. Jika mendengar kata 'dari' tentulah kalimat tersebut punya alamat 'ke'.  Tapi mas