…
Bayang bersikeras melarang ‘Teman’ Laki-lakinya, Randai, agar tidak jadi melanjutkan pendidikan ke ibu kota. Dalihnya adalah takut mengecewakan ibunda. Takut Si sulung nanti akan merepotkan Ibunda.
Ditambah lagi kecemasannya dengan penyimpangan tujuan. “Banyak sekali orang yang mula tujuannya henda belajar, eh sampai di sana malah jadi tukang pikul, gelandangan, dan lebih cemasnya lagi… Kau nanti jadi pengedar narkoba. Ah, sulut kubayangkan itu, Randai. Janganlah pergi,”
“Lihatlah, tubuhmu kecil, Randai. Kalau jadi tukang pikul, nanti kamu cido,” ucap Bayang lagi.
“Aku mau kuliah, bukan jadi tukang angkat barang,” bantah lelaki itu.
“Atau, kau akan menjadi Malin Kundang Next generation? merantau jauh-jauh, lalu sukses bak kacang lupa dengan kulit? Kau tidak pikirkan nasib ibunda dan adik-adikmu?”
“Justru karena itulah aku hendak melanjutkan pendidikanku ke ibu kota. karena memikirkan nasib ibu, adik-adik, serta kampung halamanku.
Aku tidak akan cemaskan mereka. Aku akan bersungguh-sungguh untuk membahagiakan, Ibuku, juga adik-adikku. Orang-orang dikampung sekarang boleh mencemeehku. Semoga saja nanti, aku akan buat mereka bahagia. Termasuk juga dikau, Bayang Rindu,” ucapnya menggelegar diakhiri senyuman.
“Termasuk juga kau, Bayang Rindu…” kalimat itu melayang-layang di benak Bayang. Seolah ada sebuah janji yang dberikan lelaki itu untuknya.
…
Secara lahir, ia merelakan sahabatnya itu untuk melanjutkan niat berlayar ke ibu kota. Sebab, Ibunda Lelaki itu juga sudah merelakannya. Kabar itu ia dengar langsung dari mulut sang ibunda. Namun batinnya masih tidak merelakan kepergian Randai.
“Bayang, Randai itu laki-laki. Tidak masalah jika dia merantau. Sudah menjadi tradisi, bukan. Di negeri kita ini lelaki yang sudah menginjak remaja untuk berpisah dari keluarga.”
“Jadi, Bundo mengizinkannya?” tanya Bayang seolah masih tidak percaya. Yang dipanggil Bunda tersenyum menangguk. “Doakan saja, semoga di perantauan Randai selamat dan sukses selalu, nyampang panjang umurku, dapat jualah aku melihat kesuksesannya dalam pendidikan, bisnis, juga berkeluarga,” Ucap Bunda menerawang jauh.
….
Bayang bersikeras melarang ‘Teman’ Laki-lakinya, Randai, agar tidak jadi melanjutkan pendidikan ke ibu kota. Dalihnya adalah takut mengecewakan ibunda. Takut Si sulung nanti akan merepotkan Ibunda.
langit minang @bayang Randai |
“Di Ibu kota biaya mahal. sementara di kampung saja susah. Nanti Ibunda akan cemas,”jelasnya.
Ditambah lagi kecemasannya dengan penyimpangan tujuan. “Banyak sekali orang yang mula tujuannya henda belajar, eh sampai di sana malah jadi tukang pikul, gelandangan, dan lebih cemasnya lagi… Kau nanti jadi pengedar narkoba. Ah, sulut kubayangkan itu, Randai. Janganlah pergi,”
“Lihatlah, tubuhmu kecil, Randai. Kalau jadi tukang pikul, nanti kamu cido,” ucap Bayang lagi.
“Aku mau kuliah, bukan jadi tukang angkat barang,” bantah lelaki itu.
“Atau, kau akan menjadi Malin Kundang Next generation? merantau jauh-jauh, lalu sukses bak kacang lupa dengan kulit? Kau tidak pikirkan nasib ibunda dan adik-adikmu?”
“Justru karena itulah aku hendak melanjutkan pendidikanku ke ibu kota. karena memikirkan nasib ibu, adik-adik, serta kampung halamanku.
Aku tidak akan cemaskan mereka. Aku akan bersungguh-sungguh untuk membahagiakan, Ibuku, juga adik-adikku. Orang-orang dikampung sekarang boleh mencemeehku. Semoga saja nanti, aku akan buat mereka bahagia. Termasuk juga dikau, Bayang Rindu,” ucapnya menggelegar diakhiri senyuman.
“Termasuk juga kau, Bayang Rindu…” kalimat itu melayang-layang di benak Bayang. Seolah ada sebuah janji yang dberikan lelaki itu untuknya.
…
Secara lahir, ia merelakan sahabatnya itu untuk melanjutkan niat berlayar ke ibu kota. Sebab, Ibunda Lelaki itu juga sudah merelakannya. Kabar itu ia dengar langsung dari mulut sang ibunda. Namun batinnya masih tidak merelakan kepergian Randai.
“Bayang, Randai itu laki-laki. Tidak masalah jika dia merantau. Sudah menjadi tradisi, bukan. Di negeri kita ini lelaki yang sudah menginjak remaja untuk berpisah dari keluarga.”
“Jadi, Bundo mengizinkannya?” tanya Bayang seolah masih tidak percaya. Yang dipanggil Bunda tersenyum menangguk. “Doakan saja, semoga di perantauan Randai selamat dan sukses selalu, nyampang panjang umurku, dapat jualah aku melihat kesuksesannya dalam pendidikan, bisnis, juga berkeluarga,” Ucap Bunda menerawang jauh.
….
Komentar
Posting Komentar